Mengerikan sekali rasanya bila
fenomena bully sudah merasuk pada anak-anak dan
tentunya akan berpengaruh besar terhadap masa depan mereka. Tak dapat
dipungkiri, pengaruh lingkungan dan didikan keluarga yang juga berperan penuh
terhadap kejadian bully ini.
Di pertengahan tahun 2017 lalu terjadi
kasus bully terhadap anak SD yang
dilakukan siswa SMP di daerah Thamrin City, Jakarta. Sebenarnya kasusnya hanya
cekcok mulut semata, namun ternyata di hari berikutnya, si korban dihadang
serta dibawa ke Thamrin City untuk di bully. Selain itu, di awal tahun 2016
lalu juga terjadi kasus bullying
terhadap anak TK di Lampung. Kejadiannya, seorang anak perempuan diambil bekal
sekolah, uang jajannya dan setelah itu didorong oleh teman laki-lakinya. Menurut
data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sebanyak 23.858 kasus kekerasan
anak termasuk bully (korban dan pelaku)
terjadi di sepanjang tahun 2012 sampai 2016 di seluruh Indonesia.
“Kasus bullying sudah terjadi
dimana-mana, di seluruh Indonesia, di sekolah pasti banyak terjadi dan itu
tanggung-jawab kita semua memperhatikan ini,” jelas Yohana Yembise, Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saat diwawancarai di kantornya.
Pengertian
Bully
Bila
mendengar kata bully, kita sebagai
orangtua tentunya cemas, bagaimana jika anak kita di bully atau bahkan membully
temannya. Kasus-kasus ini pun ramai dibicarakan di berbagai media. Mungkinkah anak
kita terkena bully, atau mungkin
menjadi pelakunya? Sebenarnya apa sih definisi bullying? Bully pada anak
adalah perilaku untuk menakuti-nakuti atau membahayakan orang lain. Pelakunya
biasanya anak-anak atau remaja yang memilih anak lain yang dianggap lemah,
mengganggunya dan terus mengulanginya setiap ada kesempatan. Jadi bila Si Kecil
mengadu kalau ia diejek temannya atau dihasut teman-temannya untuk tidak
berteman dengan anak kita, mungkin anak kita sedang di bully. Namun pada sebagian anak, bila dibully ada yang cenderung
diam dan mencoba mencoba menyimpannya sendiri. Bila ada hal yang mencurigakan
pada anak kita, tiba-tiba jadi tidak ceria, atau menjadi pemurung, sebaiknya
tanyakan pada mereka, apakah mereka sedang di bully oleh teman-temannya.
Dampak
Bully
Semakin berkembangnya waktu, perilaku bullying semakin meluas dan dampaknya
pun semakin parah. Bully bahkan dapat
memakan korban jiwa dan kalau pun tidak, korban bully akan menjadi depresi,
kurang percaya diri, tidak bersemangat untuk sekolah dan prestasinya menurun. Sebagai
orangtua, kita pasti bertanya-tanya, anak sekecil ini kok bisa ya mem-bully, padahal mereka dari keluarga
baik-baik. Ada banyak faktor yang membuat anak melakukan perilaku ini. Bisa
jadi dipengaruhi oleh kurangnya perhatian orangtua, atau didikan orangtua yang
sangat keras, seperti menghukum dengan hukuman fisik jika si anak bersalah.
Selain keluarga, televisi, internet dan gadget juga berpengaruh. Hal ini
dilakukan anak, karena mendapat input yang kurang baik dari sinetron-sinetron
yang tidak sesuai dengan usia mereka, bermain internet dan video game yang mengandung pelecehan serta kekerasan.
Mengawasi
Anak
Melihat kejadian-kejadian yang
mengerikan tadi, ada baiknya sejak dini kita mengawasi dan membentuk perilaku
anak agar terjauh dari perilaku bullying.
Hal ini dimulai dengan menanamkan sifat positif pada anak dan sebisa mungkin
bila anak bersalah jangan dihukum secara fisik. Beri contoh pada anak dengan
tidak mengeluarkan kata-kata kasar, atau orangtua tidak bertengkar di depan
anak, apalagi melakukan tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Selain
itu, kita juga harus berempati kepada anak, misalnya kalau dia sedang
bercerita, usahakan memahaminya walaupun mungkin yang diceritakannya terdengar tidak
penting. Intinya apapun yang sedang dirasakan Si Kecil, katakan bahwa kita
turut merasakannya. Selanjutnya berikan penjelasan bila anak salah, namun
berikan juga solusi untuk menghadapinya.
Lakukan
Ini
Apa
yang harus dilakukan orangtua bila anaknya di-bully? Walau tindakannya masih bersifat mengancam atau memusuhi, harus
tetap dilaporkan pada pihak sekolah, agar bisa dicarikan solusinya. Mungkin
awalnya hanya menegur pada anak yang mem-bully,
misalnya. Namun jika sudah sangat menghawatirkan, pihak sekolah harus
mempertemukan orangtua murid agar bisa memberi pengarahan pada anak
masing-masing. Intinya keterlibatan orangtua dan guru bukan untuk memperkeruh
keadaan, tapi untuk mencari solusi terbaik. Bila sudah keterlaluan, atau terjadi
kekerasan fisik, tetap harus ada solusi bagi anak yang membully dan yang
dibully dengan cara mempertemukan orangtua, dan usahakan jangan dibawa ke ranah
hukum, karena akan berdapak buruk juga bagi si pelaku yang dibawah umur. Untuk
anak yang di-bully, sebaiknya orangtua melakukan pendekatan ekstra, jika perlu
direhabilitasi ke psikolog untuk menghilangkan trauma-trauma yang ada. (DL)
foto: www.childrens.com